Loading...

Di Perjalanan Pulang

Rabu, 08 Februari 2012


Selasa,7 feb 2012 pukul 15.45-16.15

Bismillah..
Sore itu waktu menunjukkan pukul 15.45. Saya pulang kuliah naik bus angkutan umum. Seperti biasa, saya duduk di jok paling belakang. Entah kenapa rasanya kurang nyaman ketika berada dalam perjalanan pulang tersebut. Ada beberapa hal yang membuat saya terusik. Pertama, jok yang saya duduki rasanya tidak memberikan kenyamanan sama sekali, sering bergoyang-goyang dan pas melewati polisi tidur, saya seperti mau meloncat dari jok itu. Kedua, sopir itu mengemudikan bus dengan kecepatan tinggi. Bayangkan saja, di jalanan yang sangat ramai, penuh dengan lalu lalang kendaraan bermotor dan tentu saja para pejalan kaki, sopir itu seakan menunjukkan bahwa dia adalah sopir terhebat..!!!..( terhebat apanya? hebat kok bikin jantung penumpangnya pada senam ).


Ketiga, seperti hari-hari biasa, sore hari merupakan jam nya orang pulang dari kantor, pabrik, kampus, sekolah yang tentu saja menyebabkan bus yang seharusnya hanya memuat 30 orang itu memaksakan untuk mengangkut 50 orang. Wah keterlaluan sekali. Untung saja saya dapat tempat duduk, jadinya tidak ikut berdesak-desakan. Tapi alangkan malangnya seorang nenek yang sudah tua, mungkin berumur sekitar 80 tahunan, membawa barang dagangan yang berat, tapi tidak mendapatkan tempat duduk dan harus ikut berdesak-desakan. Sayangnya, posisi saya jauh dari nenek itu. Seandainya dekat pasti saya sudah menawarkan tempat duduk yang semula saya duduki. Dan ironisnya lagi, tidak ada orang di dekat nenek itu yang peduli dengan tidak mau menawarkan tempat duduknya itu. Ah, punya perhatian tidak sih mereka? hanya mementingkan ego saja. Dan pada akhirnya sang nenek tadi ikut berdesakan dengan penumpang lain yang berdiri. Tampaknya hari itu bukan harinya sang nenek, selain berdesakan sambil bawa barang dagangan yang berat, beliau juga dimaki-maki oleh si kondektur hanya karena ongkos ngebis nya kurang 500 rupiah. Wah kalau yang ini selain tidak punya  perhatian juga tidak punya hati. Astaghfirullah. Dan ini  merupakan pemandangan lazim yang saya saksikan ketika melihat ulah si kondektur.

Tapi tampaknya hari ini agak sedikit beruntung, karena tidak seperti biasanya yang setiap ada bus lewat perempatan mirota selalu diserbu para pengamen jalanan, namun hari ini mereka tampaknya tak ada minat ngamen di bus yang saya naiki, mungkin saja karena tidak enak melihat pemandangan berjubel dan penuh sesak di dalam bus, tapi dalam hati saya kasihan kepada para pengamen jalanan itu. Boleh jadi nyanyinya cempreng bukan main, suaranya bikin telinga gatal, dan bunyi ukulele nya bikin bulu kuduk merinding, bayangkan saja, lihat kondisi luarnya saja sudah pengen turun dari bus. Tapi sepertinya ada sesuatu yang berbeda, mereka bernyanyi tidak sekadar dengan mulut, tapi juga dengan hati. Dan uang 100 rupiah pun mereka balas dengan senyuman dan ucapan terima kasih. Bayangkan kita yang seorang terpelajar, dikasih uang 50 ribu, eh malah bilang kurang. Makanya kita harus senantiasa bersyukur kepada Allah karena banyak orang yang nasibnya di bawah kita. Bahkan jauh sekali.

30 menit saya lalui di dalam bus tadi mungkin tidaklah berarti bagi orang yang tiap harinya pulang pergi naik mobil, motor, atau kendaraan lainnya. Tapi bagi orang yang sering naik bus pasti sering mengalami hal yang telah saya uraikan tersebut. Meskipun sederhana dan hanya terjadi selama setengah jam, tapi ada hikmah yang dapat kita peroleh.

Kita akan senantiasa dihadapkan oleh kejadian yang jauh dari rasa nyaman. Dan ini yang kemudian akan menguji kesabaran kita. Boleh jadi kita sabar ketika sang sopir melajukan bus dengan kecepatan tinggi. Boleh jadi kita bisa sabar apabila duduk di jok yang sama sekali tidak nyaman. Dan boleh jadi kita sabar ketika melihat pengamen bernyanyi di depan kita meskipun kita tidak suka. Kita sabar karena itu semua kita alami. Dan ekspresi kita yang paling mendasar adalah diam. Namun apakah kita bisa diam ketika melihat orang lain dimaki-maki? Apakah kita akan diam ketika melihat orang lain berdiri lelah sedangkan kita duduk? Apakah kita akan diam ketika melihat pengamen tak berdaya hidup di tengah kebisingan kota dengan bermodalkan ukulele sebagai alat pencari sesuap nasi? Dan bahkan masih banyak peristiwa yang saya saksikan di dalam bus yang memilukan. Sungguh ini sebenarnya ujian bukan hanya untuk mereka, namun juga untuk kita yang sejatinya boleh jadi bernasib seperti mereka, bukan perasaan saja yang peka, tapi hati juga peka, namun barangkali kita lupa bersyukur. Mungkin kita sedang lupa dengan nikmat yang Allah berikan kepada kita. Padahal mata kepala kita melihat semua peristiwa tidak menyenangkan menimpa saudara kita. Tetapi mau sampai kapan mata hati kita tertutup? Oleh karena itu kawan, melalui cerita singkat ini saya mengingatkan diri saya dan kawan-kawan semua untuk senantiasa bersyukur atas apapun yang Allah berikan kepada kita.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS Ibrahim:7)




Sepercik hikmah dari perjalanan pulang kuliah. Dari UNY ke godean.
Advertise Here
By bungfrangki.com
300x250

Click here for comments 0 komentar:

Terima kasih atas komentar Anda